Selasa, 10 Februari 2015

AD/ART FORUM KOMUNIKASI DINIYAH TAKMILIYAH

1 komentar:

ANGGARAN DASAR
FORUM KOMUNIKASI DINIYAH TAKMILIYAH

MUQODDIMAH

Bismillahirrahmaanirrahim

Bahwa sesungguhnya Diniyah Takmiliyah merupakan Lembaga Pendidikan non formal yang  secara spesifik menggali dan mengembangkan nilai-nilai ajaran Islam yang dapat meletakkan  dasar-dasar keilmuan untuk menciptakan masyarakat beriman, bertaqwa dan berakhlaqul karimah.

Bahwa sesungguhnya kelahiran dan perjuangan Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah (FKDT ) merupakan yang tak terpisahkan dari upaya cita-cita pendiri Republik Indonesia untuk berkhidmat kepada perjuangan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia menuju terwujudnya secara utuh dan berkelanjutan bila seluruh komponen bangsa serta potensi yangada, termasuk Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah (FKDT ).

Bahwa cita-cita perjuangan bangsa Indonesia dan upaya-upaya pembangunan nasional hanya terwujud secara utuh dan berkelanjutan bila seluruh komponen bangsa serta potensi yang ada, termasuk Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah (FKDT ).

Menyadari bahwa dengan kondisi pendidikan diniyah di tanah air Indonesia adalah merupakan pendidikan tertua dibandingkan dengan pendidikan yang lain.

Atas dasar pemikiran tersebut, dengan ini disusunlah Anggaran dasar dan Anggaran Rumah Tangga Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah (FKDT ) sebagai berikut :

BAB I
NAMA, WAKTU DAN TEMPAT KEDUDUKAN

Pasal 1
1. Organisasi ini bernama Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah, disingkat FKDT yang didirikan pada tanggal 14 April 2012
2. Pusat organisasi Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik Indonesia.

BAB II
AQIDAH DAN ASAS

Pasal 2
Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah, adalah organisasi yang beraqidah Islam ahli sunnah wal jamaah.

Pasal 3
Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah, organisasi yang berasaskan Pancasila.

BAB III
TUJUAN DAN USAHA

Pasal 4
Tujuan Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah ( FKDT ) adalah mewujudkan Pendidikan yang Islami, demokratis adil dan sejahtera.

Pasal 5
Untuk mewujudkan tujuan Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah tersebut, maka usaha-usaha yang dilakukan adalah :
1.  Di bidang agama adalah mengaktualisasikan nilai-nilai agama Islam dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
2.  Di bidang pendidikan adalah melakukan pemberdayaan masyarakat, dalam rangka peningkatan sumber daya manusia yang kritis dan berakhlakul karimah.
3.  Di bidang sosial mengupayakan perwujudan masyarakatyag menjunjung tinggi harkat dan martabat  manusia  denga  tetap  berusaha  memelihara  jati  diri  guru  diniyah  sertameningkatkan harkat dan martabat bangsa.
4.  Di bidang ekonomi mengupayakan peningkatan kesejahteraan guru dan diniyah secara merata, adil dan demokratis.
5.  Di bidang lainnya yaitu meningkatkan hubungan dan komunikasi sama dengan intansi-instansi terkait, berbagai organisasi keagamaan, kebangsaan, kemasyarakatan dan organisasi sosial serta organisasi profesi lainnya baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

BAB IV
KEDAULATAN

Pasal 6
Kedaulatan Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah ( FKDT ) berada ditangan anggota dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Musyawarah Nasional (Munas).

BAB V
SIFAT DAN FUNGSI

Pasal 7
Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah ( FKDT ) bersifat organisasi profesi, sosial, kemasyarakatan dan keagamaan.

Pasal 8
Fungsi Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah ( FKDT ) sebagai berikut :
1.  Wadah silaturahmi.
2.  Wadah koordinasi, konsultasi dan interaksi.
3.  Wadah pemberdayaan Sumber Daya Manusia (SDM).

BAB VI
ATRIBUT

Pasal 9
Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah ( FKDT ) mempunyai lambing hymne dan atribut lainnya yang penggunaannya diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.

BAB VII
KEANGGOTAAN

Pasal 10
1.  Anggota Kelembagaan, yaitu Diniyah Takmiliyah se- Indonesia yang terdaftar di Kementerian Agama
2.  Anggota  perorangan, yaitu semua guru yang mengajar pada Diniyah Takmiliyah yang terdaftar
3.  Anggota  Kehormatan, yaitu individu yang dianggap peduli dan mau berkontribusi dalam memajukan Diniyah Takmiliyah
4.  Tata cara penerimaan anggota diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.

BAB VIII
HAK DAN KEWAJIBAN ANGGOTA

Pasal 11
Anggota Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah ( FKDT  ) mempunyai hak dan kewajiban yang diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.

BAB IX
STRUKTUR ORGANISASI DAN MASA BAKTI

Pasal 12
Kepengurusan Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah mempunyai tingkatan sebagai berikut :
1.  Pengurus FKDT di tingkat pusat, selanjutnya disebut Dewan Pengurus Pusat Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah yang disingkat DPP-FKDT, berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik Indonesia.
2.  Pengurus FKDT di tingkat provinsi, selanjutnya disebut Dewan Pengurus Wilayah Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah yang disingkat DPW-FKDT, berkedudukan di Ibu Kota Provinsi.
3.  Pengurus FKDT di tingkat Kabupaten/Kota, selanjutnya disebut Dewan Pengurus Cabang Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah yang disingkat DPC-FKDT, berkedudukan di Ibu KotaKabupaten/Kota.
4.  Pengurus FKDT di tingkat Kecamatan, selanjutnya disebut Pengurus Anak Cabang Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah  yang  disingkat  PAC-FKDT, berkedudukan di Ibu Kota Kecamatan.

Pasal 13
Susunan dan personalia pengurus FKDT diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.

Pasal 14
Masa bakti pengurus FKDT diatur dalam Anggaran Rumah Tangga

BAB X
HAK DAN KEWAJIBAN PENGURUS

Pasal 15
Hak dan kewajiban pengurus FKDT diatur dalam Anggaran Rumah Tangga

BAB XI
BERMUSYAWARAH

Pasal 16
1.  Bentuk permusyawaratan adalah, Munas, Muswil, Muscab, dan Musyawarah Anak Cabang
2.  Jenis permusyawaratan diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.

BAB XII
KEUANGAN

Pasal 17
1.  Keuangan organisasi didapat dari iuran anggota, sumbangan yang tidak mengikat dan usaha lain yang kekal dan sah.
2.  Pengelolaan keuangan dilakukan oleh masing-masing tingkatan kepengurusan.

BAB XIII
PEMBUBARAN ORGANISASI

Pasal 18
1.  Pembubaran organisasi hanya dapat dilakukan oleh Munas yang khusus diadakan untuk itu,dengan ketentuan Quarum dan pengambilan keputusan sebagaimana diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.
2.  Tata cara pembubaran organisasi diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.
3.  Kekayaan organisasi setelah organisasi dibubarkan diatur lebih lanjut oleh Munas.

BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 19
1.  Segala sesuatu yang belum diatur dalam Anggaran dasar ini diatur kemudian dalam Anggaran Rumah Tangga.
2.  Anggaran dasar ini hanya dapat diubah oleh Munas.
3.  Anggaran Dasar ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di  : Jakarta
Pada Tanggal  : 14 April 2012

MUNAS I
FORUM KOMUNIKASI DINIYAH TAKMILIYAH (FKDT )

Pimpinan Sidang Pleno

Ketua
(Sumitro, S Pd. I)

Sekretaris
(Nuruddin, S.Ag)



ANGGARAN RUMAH TANGGA
FORUM KOMUNIKASI DINIYAH TAKMILIYAH

BAB I
MAKNA LAMBANG DAN PENGGUNAAN LAMBANG


Pasal 1
1. Berbentuk Segi Lima ( Rukun Islam & Pancasila )
2. warna dasar putih ( kesucian perjuangan )
3. bintang ( tingginya cita2 kepada allah )
4. padi & kapas ( kesejahteraan guru dan warga diniyah )
5. kitab terbuka ( sumber ilmu, al qur`an dan assunnah )
6. tangan berjabat ( kekokohan silaturrahim )
7. pena ditengah kitab ( belajar yang terus menerus )

BAB II
KEANGGOTAAN

Pasal 2
Anggota FKDT terdiri dari :
1.  Anggota Kelembagaan
2.  Anggota  perorangan, terdiri dari : kepala, wakil kepala dan guru diniyah yang masih aktif mengajar dan atau masih mengurus pendidikan diniyahula, wustha dan ‘ulya.
3.  Anggota kehormatan ialah setiap orang yang dianggap telah berjasa kepada organisasi dan
disetujui penetapannya serta disahkan oleh rapat Pengurus Harian FKDT.

BAB III
KEWAJIBAN KEANGGOTAAN

Pasal 3
Anggota FKDT berkewajiban :
1.  Memiliki keterikatan secara formal maupun moral serta menjunjung tinggi nama baik, tujuan dan kehormatan organisasi.
2.  Menunjukkan kesetiaan kepada organisasi.
3.  Tunduk dan patuh kepada Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, peraturan dan keputusan organisasi FKDT.
4.  Mengikuti secara aktif dalam kegiatan-kegiatan organisasi.
5.  Mendukung dan mensukseskan seluruh pelaksanaan program organisasi.

BAB IV
HAK ANGGOTA

Pasal 4
Angota FKDT berhak :
1.  Memperoleh perlakuan yang sama dari organisasi.
2.  Memperoleh pelayanan, pembelaan, pendidikan dan pelatihan serta bimbingan dari organisasi.
3.  Menghadiri rapat anggota, mengemukakan pendapat, mengajukan pertanyaan, memberikan usul dan saran yang bersifat membangun.
4.  Memilih dan dipilih menjadi pengurus atau memegang jabatan lain yang diamanatkan kepadanya.
5.  Mengadakan pembelaan terhadap keputusan organisasi tentang dirinya.
6.  Mendapat kemaslahatan dari kegiatan-kegiatan FKDT.

BAB V
TATA CARA PENERIMAAN ANGGOTA

Pasal 5
1.  Penerimaan anggota dapat dilakukan di tingkat Kecamatan, kabupaten/kota dan propinsi domosili calon anggota.
2.  Tata cara pengelolaan administrasi penerimaan anggota diatur oleh pengurus pusat.
3.  Pengusulan anggota kehormatan dilakukan atas usul rapat harian pengurus Kecamatan, rapat harian pengurus Kabupaten/kota, rapat harian pengurus propinsi dan rapat harian pengurus pusat, setelah usulan memperoleh persetujuan pengurus pusat diberikan keputusan penetapan.

BAB VI
BERHENTI DARI ANGGOTA

Pasal 6
1.  Anggota biasa dan anggota kehormatan FKDT berhenti keanggotaannya karena :
a.  Meninggal dunia
b.  Atas permintaan sendiri
c.  Diberhentikan sementara
d.  Diberhentikan tetap.
2.  Surat keputusan pemberhentian anggota dikeluarkan oleh pengurus ditempatnya masing-masing.
3.  Anggota yang diberhentikan sementara/tetap apabila telah dinyatakan melanggar AD/ART

BAB VII
SUSUNAN PENGURUS ORGANISASI

Pengurus Pusat

Pasal 7
1.  Pengurus Harian Dewan Pengurus Pusat Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah (DPPFKDT) adalah pengurus yang menerima amanat Munas sebagai pengurus dan memegang tanggung jawab tertinggi organisasi baik ke dalam maupun keluar.
2.  Pengurus  Harian  Dewan  Pengurus  Pusat  Forum  Komunikasi  Diniyah  Takmiliyah  (DPPFKDT) terdiri dari :
    a.  Ketua Umum
    b.  8 (delapan) Wakil Ketua
    c.  Sekretaris Jenderal
    d.  8 (delapan) Wakil Sekretaris
    e.  Bendahara umum
    f.  2 (dua) Wakil Bendahara
    g.  Departemen-Departemen
    h.  Lembaga-lembaga.
3.  Kepengurusan Harian Dewan Pengurus Pusat Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah (DPPFKDT) di sahkan dengan AKta Notaris dan Menkumham
4.  Kepengurusan Departemen dan Lembaga disahkan dan ditetapkan oleh Dewan Pengurus Pusat (DPP-FKDT)

Pengurus Wilayah

Pasal 8
1.  Pengurus Harian Dewan Pengurus Wilayah Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah (DPWFKDT) adalah pengurus yang menerima amanat Musyawarah Wilayah (Muswil) sebagai pengurus dan memegang tanggung jawab organisasi di tingkat provinsi baik ke dalam maupun keluar.
2.  Pengurus Harian Dewan Pengurus Wilayah Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah (DPWFKDT) dapat dibentuk di tiap provinsi atau daerah istimewa dimana telah berdiri paling sedikit lima DPC-FKDT Dalam hal tertentu pengurus provinsi dapat dibentuk oleh pengurus pusat.
3.  Pengurus  Harian  Dewan  Pengurus  Wilayah  Forum  Komunikasi  Diniyah  Takmiliyah  (DPWFKDT) terdiri dari :
a.  Ketua
b.  6 (enam) Wakil Ketua
c.  Sekretaris
d.  6 (enam) Wakil sekretaris
e.  Bendahara
f.  Wakil bendahara
g.  Departemen-departemen
h.  Lembaga-lembaga
4.  Pengurus Harian Dewan Pengurus Wilayah Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah (DPWFKDT) disahkan dan ditetapkan oleh Dewan Pengurus Pusat Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah (DPP-FKDT).
5.  Kepengurusan Departemen dan Lembaga disahkan dan ditetapkan oleh Dewan Pengurus Wilayah (DPW-FKDT)

Pengurus Cabang

Pasal 9
1.  Pengurus Harain Dewan Pengurus Cabang Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah (DPCFKDT) adalah pengurus Kabupaten/Kota yang menerima amanat Musyawarah Cabang (Muscab) sebagai pengurus dan memegang tanggung jawab organisasi di tingkat kabupaten/kota baik ke dalam maupun keluar.
2.  Pengurus Harain Dewan Pengurus Cabang Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah (DPCFKDT) dapat dibentuk ditiap kabupaten/kota dimana telah berdiripalingsedikit 3 (tiga) kecamatan.
3.  Pengurus kabupaten/kota terdiri dari :
    a.  Ketua
    b.  4 (empat) wakil Ketua
    c.  Sekretaris
    d.  4 (empat) Wakil sekretaris
    e.  Bendahara
    f.  Wakil Bendahara
    g.  Departemen-Departemen
    h.  Lembaga-lembaga
4.  Pengurus Harain Dewan Pengurus Cabang  Forum  Komunikasi  Diniyah  Takmiliyah  (DPCFKDT) disahkan dan ditetapkan oleh Dewan Pengurus Wilayah (DPW-FKDT)
5.  Pengurus  Departemen  dan  Lembaga  disahkan  dan  ditetapkan  oleh  Dewan  Pengurus
Cabang (DPC-FKDT)

Pengurus Anak Cabang

Pasal 10
1.  Pengurus Harian Anak Cabang Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah (PAC-FKDT) adalah pengurus Kecamatan yang menerima amanat Musyawarah Anak Cabang untuk dan memegang tanggung jawab di tingkat Kecamatan baik kedalam maupun keluar.
2.  Pengurus Harian Anak Cabang Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah (PAC-FKDT) dapat dibentuk di daerah Kecamatan.
3.  Pengurus Harian Anak Cabang Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah (PAC-FKDT) terdiri dari :
    a.  Ketua
    b.  2 ( dua ) Wakil Ketua
    c.  Sekretaris
    d.  2 ( dua ) Wakil Sekretaris
    e.  Bendahara
    f.  Wakil Bendahara
    g.  Departemen-departemen
    h.  Lembaga-lembaga
5.  Pengurus Harian Anak Cabang Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah (PAC-FKDT) disahkan
dan ditetapkan oleh Dewan Pengurus Cabang (DPC-FKDT)

BAB VIII
MASA BAKTI

Pasal 11
1.  Dewan Pengurus Pusat (DPP-FKDT) dipilih untuk masa bakti 5 tahun, dan dapat dipilih kembali, kecuali untuk jabatan Ketua Umum hanya dapat dipilih untuk dua kali masa bakti.
2.  Dewan Pengurus Wilayah (DPW-FKDT) dipilih untuk masa bakti 5 tahun dan dapat dipilih kembali, kecuali untuk jabatan ketua hanya dapat dipilih untuk dua kali masa bakti
3.  Dewan Pengurus Cabang (DPC-FKDT) dipilih untuk masa bakti 5 tahun dan dapat dipilih kembali, kecuali untuk jabatan ketua hanya dapat dipilih untuk dua kali masa Bakti .
4.  Pengurus Anak Cabang  PAC-FKDT) dipilih untuk masa bakti 4 tahun dan dapat dipilih kembali, kecuali untuk jabatan ketua hanya dapat dipilih untuk dua kali masa Bakti .

BAB IX
SYARAT-SYARAT MENJADI PENGURUS

Pasal 12
Seorang anggota FKDT dapat dipilih Dewan Pengurus Pusat, Dewan Pengurus Wilayah, Dewan Pengurus Cabang, dan Pengurus Anak Cabang dengan syarat :
1.  Berprestasi, berdedikasi dan loyal kepada organisasi.
2.  Mampu dan aktif menjalankan organisasi.

BAB X
KEWAJIBAN PENGURUS

Kewajiban Dewan Pengurus Pusat (DPP-FKDT)

Pasal 13
Dewan Pengurus Pusat berkewajiban :
1.  Menjalankan semua ketentuan yang tercantum dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, keputusan Munas, keputusan organisasi.
2.  Melaksanakan Munas.
3.  Memberikan pertanggungjawaban kepada Munas.
4.  Mengesahkan dan menetapkan Dewan Pengurus Wilayah .
5.  Menentukan kebijaksanaan umum sesuai AD/ART untuk menjalankan organisasi.
6.  Memberikan perlindungan dan pembelaan kepada anggota yang memerlukan.
7.  Memperhatikan saran-saran Dewan Penasehat Pusat.

Kewajiban Dewan Pengurus Wilayah (DPW-FKDT)

Pasal 14
Dewan Pengurus wilayah berkewajiban :
1.  Menjalankan semua ketentuan yang tercantum dalam AD/ART keputusan Munas, keputusan musyawarah wilayah, dan raker wilayah.
2.  Melaksanakan musyawarah wilayah (Muswil).
3.  Mengesahkan dan menetapkan pengurus Cabang.
4.  Memberikan pertanggungjawaban kepada musyawarah wilayah.
5.  Memberikan perlidungan dan pembelaan kepada anggotayang memerlukan.
6.  Memperhatikan saran-saran Dewan Penasehat Wilayah.

Kewajiban Pengurus Cabang

Pasal 15
Dewan Pengurus Cabang berkewajiban :
1.  Menjalanakan semua ketentuan yang tercantum dalam AD/ART keputusan Munas, keputusan Muswil, Keputusan Muscab.
2.  Melaksanakan musyawarah Cabang (Muscab)
3.  Mengesahkan dan menetapkan Pengurus Anak Cabang
4.  Memberikan pertanggungjawaban kepada musyawarah Cabang (Muscab).
5.  Memberikan perlidungan dan pembelaan kepada anggotayang memerlukan.
6.  Memperhatikan saran-saran Dewan Penasehat Cabang.

BAB XI
HAK PENGURUS

Hak Dewan Pengurus Pusat

Pasal 16
Dewan Pengurus pusat berhak :
1.  Mengambil kebijakan organisasi tingkat Pusat
2.  Membuat Surat Keputusan dan ketetapan untuk Pengurus Wilayah se Indonesia
3.  Membatalkan keputusan atau kebijaksanaan Pengurus Wilayah atas usulan Pengurus Cabang yang bertentangan dengan AD/ART.
4.  Membekukan Pengurus Wilayah
5.  Memberikan  atau  Menerbitkan  KTA  (Kartu  Tanda  Anggota)  kepada  atau  diri  anggota
kehormatan.

Hak Dewan Pengurus Wilayah

Pasal 17
Dewan Pengurus Wilayah berhak :
1.  Mengambil kebijakan organisasi tingkat Wilayah
2.  Membuat Surat Keputusan dan ketetapan untuk Pengurus Cabang
3.  Membatalkan keputusa atau kebijaksanaan Penguru Cabang atas usulan Pengurus Anak Cabang yang bertentangan dengan AD/ART.
4.  Membekukan Pengurus Cabang
5.  Merekomendasikan Data untuk diterbitkan KTA (Kartu Tanda Anggota) kepada Pengurus Pusat.

Hak Dewan Pengurus Cabang

Pasal 18
Dewan Pengurus Cabang berhak :
1.  Mengambil kebijakan organisasi Pengurus Cabang
2.  Membuat Surat Keputusan dan ketetapan untuk Pengurus Anak Cabang
3.  Membatalkan keputusan atau kebijaksanaan Pengurus Anak Cabang atas usulan Kepala-kepala Diniyah yang bertentangan dengan AD/ART.
4.  Membekukan Pengurus Anak Cabang
5.  Merekomendasikan Data untuk diterbitkan KTA (Kartu Tanda Anggota) kepada Pengurus Wilayah.

BAB XII
PEMBEKUAN PENGURUS

Pasal 19
1.  Pengurus pusat dapat membekukan Pengurus Wilayah dan Pengurus Wilayah dapat membekukan Pengurus Cabang dan Pengurus Cabang dapat membekukan Pengurus Anak Cabang.
2.  Pembekuan tersebut didasarkan atas keputusan sekurang-kurangnya rapat pengurus harian.
3.  Alasan pembekuan harus benar-benar kuat baik ditinjau dari segi syarat maupun konstitusi organisasi.
4.  Sebelum melakukan pembekuan diberikan peringatan terlebih dahulu.

BAB XIII
PENGGANTIAN PENGURUS

Pasal 20
1.  Penggantian pengurus dapat dilakukan sebelum masa baktinya berakhir apabila pengurus yang bersangkutan tidak dapat menunaikan kewajibannya sebagai pengurus.
2.  Tata cara penggantian pengurus sebagaimana dimaksuddalam ayat (1) pasal ini akan diatur
dalam peraturan organisasi yang dikeluarkan oleh pengurus Pusat.

BAB XIV
PENGISIAN LOWONGAN JABATAN ANTAR WAKTU

Pasal 21
1.  Apabila terjadi lowongan jabatan dalam masa bakti kepengurusan FKDT, maka diisi oleh pejabat sementara yang ditetapkan dalam rapat plenosampai diselenggarakannya munas, Muswil, Muscab dan Musyawarah Anak Cabang.
2.  Tata cara pengisian lowongan jabatan akan diatur lebih lanjut.

BAB XV
DEWAN PENASEHAT

Pasal 22
1.  Di tingkat Dewan Pengurus Pusat, Dewan Pengurus Wilayah, Dewan Pengurus Cabang, Pengurus Anak Cabang dibentuk dewan penasehat yang anggotanya diangkat oleh pengurus di semua tingkatan.
2.  Dewan Penasehat merupakan badan pertimbangan yang berhak memberikan pertimbangan, saran, nasehat baik diminta maupun tidak dilakukan baik secara perorangan maupun kolektif sesuai dengan tingkatan kepengurusan masing-masing.
3.  Dewan penasehat adalah, yang ditunjuk oleh masing-masing tingkat kepengurusan sesuai kebutuhan tingkatan masing-masing,

BAB XVI
PERMUSYAWARATAN DAN RAPAT-RAPAT

Pasal 23
1.  Forum permusyawaratan untuk pengambilan keputusan organisasi meliputi Munas, Rakernas,  Muswil, Rakerwil, Muscab, Rakercab, Musyawarah Anak Cabang, dan Rapat Kerja Anak Cabang.
2.  Rapat untuk pengambilan keputusan organisasi,  meliputi : rapat harian, rapat  pleno, rapat departemen/lembaga dan rapat koordinasi.

Munas

Pasal 24
1.  Munas  sebagai  permusyawaratan dan pemegang kekuasaan tertinggi dalam organisasi diselenggarakan sekali dalam 5 tahun.
2.  Munas diselenggarakan untuk :
    a.  Menilai pertanggungjawaban pengurus pusat.
    b.  Menetapkan program umum organisasi.
    c.  Menetapkan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga(AD/ART).
    d.  Merumuskan kebijaksanaan organisasi berkaitan dengan kehidupan, pendidikan, kebangsaan dan bermasyarakat.
3.  Munas diadakan dan dipimpin oleh pengurus pusat.
4.  Dalam keadaan istimewa dapat diadakan munas luar biasa yang diadakan sewaktu-waktu atas  penetapan pengurus pusat atau atas permintaan paling sedikit 2/3 (dua pertiga) dari jumlah pengurus Cabang dan separuh lebih jumlah pengurus Wilayah yang sah.
5.  Munas dihadiri oleh :
    a.  Pengurus Pusat
    b.  Pengurus Wilayah
    c.  Pengurus Cabang
    d.  Undangan yang ditetapkan panitia.
6.  Munas dianggap sah apabila dihadiri oleh sekurang-kurangnya ½ (separuh) lebih satu dari
utusan Wilayah dan utusan Cabang yang sah.
7.  Hak suara diatur sebagai berikut :
Dewan Pengurus Pusat, Dewan Pengurus Wilayah dan Dewan Pengurus Cabang masingmasing mempunyai 1 suara.
8.  Acara  tata  tertib  munas  dan  tata  cara  pemilihan  pengurus  dibuat  oleh  pengurus  pusat dengan pengesahan munas.

Rakernas

Pasal 25
1.  Rakernas diadakan paling sedikit 2 (dua) kali dalamsatu periode kepengurusan pusat dan dalam  keadaan  istimewa  dapat  diadakan  sewaktu-waktu atas  penetapan  pengurus  pusat atau atas permintaan paling sedikit separuh lebih dari jumlah pengurus provinsi yang sah.
2.  Rakernas diadakan dan dipimpin oleh pengurus pusat.
3.  Rakernas dianggap sah apabila dihadiri oleh sepuluh lebih dari jumlah pengurus provinsi
yang  sah  setiap  keputusan  dianggap  sah  apabila  telah  disetujui  oleh  separuh  lebih  dari
jumlah suara yang sah.
4.  Rakernas diadakan untuk :
a.  Merumuskan penjabaran program kerja FKDT
b.  Melakukan penilaian atas pelaksanaan program kerja FKDT.
c.  Membicarakan masalah-masalah penting yang timbul diantara dua munas.
d.  Merumuskan materi yang dipersiapkan sebagai bahan munas.
5.  Rakernas dihadiri oleh :
a.  Pengurus Pusat
b.  Pengurus Provinsi
c.  Undangan yang ditetapkan panitia.

Musyawarah Wilayah

Pasal 26
1.  Musyawarah Wilayah diselenggarakan 5 tahun sekali oleh Dewan Pengurus Wilayah atau dalam keadaan istimewa dapat diadakan sewaktu-waktuatau penetapan Dewan Pengurus Pusat atau Dewan Pengurus Wilayah atau atas permintaan paling sedikit separuh Cabang yang sah.
2.  Musyawarah Wilayah diadakan untuk :
    a.  Memintai pertanggungjawaban Dewan Pengurus Wilayah.
    b.  Menetapkan program kerja Dewan Pengurus Wilayah.
    c.  Memilih Dewan Pengurus Wilayah.
3.  Musyawarah Wilayah dihadiri oleh :
    a.  Dewan Pengurus Wilayah
    b.  Dewan Pengurus Cabang.
    c.  Utusan yang ditetapan panitia.
4.  Dalam pemilihan pengurus masing-masing pengurus Cabang mempunyai 1 (satu) suara Dewan Pengurus Wilayah tidak memiliki hak suara.

Rapat Kerja Wilayah

Pasal 27
1.  Rapat kerja Wilayah diselenggarakan 1 (satu) tahun sekali oleh Dewan Pengurus Wilayah.
2.  Rapat kerja Wilayah diadakan untuk :
    a.  Mengevaluasi pelaksanaan program-program yang telahdilaksanakan.
    b.  Merancang pelaksanaan program selanjutnya.
    c.  Menjabarkan keputusan-keputusan organisasi.
    d.  Membahas hal-hal yang dianggap perlu.
3.  Rapat Kerja Wilayah dihadiri oleh :
    a.  Dewan Pengurus Wilayah
    b.  Dewan Pengurus Cabang.
    c.  Utusan yang ditetapkan panitia.

Musyawarah Cabang

Pasal 28
1.  Musyawarah Cabang diselenggarakan 5 (empat) tahun sekali oleh Dewan Pengurus Cabang atau dalam keadaan istimewa dapat diadakan sewaktu-waktu atau penetapan Dewan Pengurus Cabang atau atas permintaan paling sedikitseparuh dari jumlah Pengurus Anak Cabang.
2.  Musyawarah Cabang diadakan untuk :
    a.  Menilai pertanggungjawaban pengurus Cabang.
    b.  Menetapkan program kerja pengurus Cabang.
    c.  Memilih pengurus Cabang.
    d.  Menetapkan keputusan-keputusan lainnya.
3.  Musyawarah Cabang dihadiri oleh :
    a.  Pengurus Cabang
    b.  Pengurus Anak Cabang.
    c.  Utusan yang ditetapan panitia.
4.  Dalam pemilihan pengurus masing-masing pengurus kecamatan mempunyai 1 (satu) suara pengurus Cabang tidak memiliki hak suara.

Rapat Kerja Cabang

Pasal 29
1.  Rapat kerja Cabang diselenggarakan 1 (satu) tahun sekali oleh pengurus Cabang.
2.  Rapat kerja Cabang diadakan untuk :
    a.  Mengevaluasi pelaksanaan program-program yang telahdilaksanakan.
    b.  Merancang pelaksanaan program selanjutnya.
    c.  Menjabarkan keputusan-keputusan organisasi.
    d.  Membahas hal-hal yang dianggap perlu.
3.  Rapat kerja Cabang dihadiri oleh :
    a.  Pengurus Cabang
    b.  Pengurus Anak Cabang.

Musyawarah Anak Cabang

Pasal 30
1.  Musyawarah Anak Cabang diselenggarakan 4 tahun sekali oleh Pengurus Anak Cabang atau dalam keadaan istimewa dapat diadakan sewaktu-waktuatas penetapan Pengurus Cabang atau Pengurus Anak Cabang atas permintaan paling sedikit separuh dari jumlah Pengurus Anak Cabang yang sah.
2.  Musyawarah Anak Cabang diadakan untuk :
    a.  Menilai pertanggungjawaban pengurus Anak Cabang.
    b.  Menetapkan program kerja pengurus Anak Cabang.
    c.  Memilih pengurus Anak Cabang.
    d.  Menetapkan keputusan-keputusan lainnya.
3.  Musyawarah kecamatan Anak Cabang Anak Cabang dihadiri oleh :
    a.  Pengurus Anak Cabang
    b.  Anggota.
    c.  Utusan yang ditetapan panitia.
4.  Dalam pemilihan pengurus masing-masing anggota mempunyai 1 (satu) suara pengurus Anak Cabang tidak memiliki hak suara.

Rapat Kerja Anak Cabang

Pasal 31
1.  Rapat kerja Anak Cabang diselenggarakan 1 (satu) tahun sekali oleh pengurus Anak Cabang.
2.  Rapat kerja Anak Cabang diadakan untuk :
    a.  Mengevaluasi pelaksanaan program-program yang telahdilaksanakan.
    b.  Merancang pelaksanaan program selanjutnya.
    c.  Mengabarkan keputusan-keputusan organisasi.
    d.  Membahas hal-hal yang dianggap perlu.
3.  Rapat kerja Anak Cabang dihadiri oleh :
    a.  Pengurus Anak Cabang
    b.  Anggota.

Rapat Anggota

Pasal 32
1.  Rapat anggota diseleggarakan paling sedikit 3 (tiga) tahun sekali oleh Pengurus Anak Cabang atau dalam keadaan istimewa dapat diadakan sewaktu-waktu atas penetapan Pengurus Anak Cabang atau atas permintaan paling sedikit separuh jumlah anggota.
2.  Rapat anggota dianggap sah apabila dihadiri separuhlebih jumlah anggota yang sah, kecuali dalam keadaan memaksa atas persetujuan yang hadir, pengurus Kecamatan dapat mensahkan rapat anggota tersebut.
3.  Keputusan dianggap sah apabila disetujui oleh separuh lebih dari jumlah yang hadir, termasuk anggota-anggota Pengurus Anak Cabang.
4.  Bila dalam pemungutan suara diperoleh suara sama, maka diadakan pemungutan suara ulang sekali. Dan jika keadaan suara masih tetap sama maka ketua Pengurus Anak Cabang, mempunyai suara menentukan.
5.  Setiap anggota yang hadir mempunyai hak  suara, sedangkan setiap calon anggota yang hadir hanya mempunyai hak mengemukan pendapat.
6.  Setiap anggota yang  hadir, termasuk anggota-anggota Pengurus Anak Cabang dalam pemungutan suara tentang satu masalah masing-masingmempunyai satu suara pemilihan Pengurus anggota Pengurus Anak Cabang tidak mempunyai hak suara.
7.  Rapat anggota diadakan untuk membicarakan :
a.  Pelaksanaan kegiatan dan program organisasi.
b.  Hal-hal lain yang menyangkut kepentingan anggota.

Rapat-Rapat Lain

Pasal 33
1.  Rapat pleno adalah rapat pengurus pleno untuk membahas dan memutuskan sesuatu setiap 6 (enam) bulan sekali.
2.  Rapat harian adalah rapat pengurus harian untuk membahas dan memutuskan hal-hal tertentu yang diselenggarakan setiap 1 (satu) bulansekali.
3.  Rapat koordinasi adalah rapat yang diselenggarakan antar tingkat kepengurusan FKDT untuk membahas hal kegiatan atau program tertentu di lingkungan FKDT .
4.  Rapat departemen adalah rapat intern atau antar departemen untuk membahas pemrogramprogram organisasi.
5.  Rapat koordinasi yang dimaksud dengan ayat 3 ini adalah Rakornas untuk tingkat Pusat, RakorWil untuk tingkat Propinsi, Rakorcab untuk tingkat kabupaten/kota.

BAB XVII
QUORUM PENGAMBILAN KEPUTUSAN

Pasal 34
Permusyawaratan dan rapat adalah sah apabila memenuhi quorum yakni yang dihadiri separuh lebih jumlah peserta.

Pasal 35
Pengambilan keputusan pada asasnya dilakukan secaramusyawarah untuk mufakat dan apabila
hal ini tidak mungkin, maka keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.

Pasal 36
1.  Khusus tetang perubahan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga harus dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah peserta.
2.  Untuk hal ini keputusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga)
dari jumlah peserta yang hadir.

BAB XVIII
KEUANGAN

Pasal 37
Keuangan organisasi di dapat dari :
1.  Iuran anggota
2.  Sumbangan yang tidak mengikat yang didapat dari bantuan para dermawan, instansi pemerintah dan badan-badan swasta yang tidak mensyaratkan sesuatu kepada organisasi.
3.  Usaha lain yang halal dan sah yaitu usaha-usaha lain yang tidak bertentangan dengan syara dan atau hukum negara.

BAB XIX
TATA CARA PEMILIHAN

Pasal 38
Tata cara pemilihan pengurus diatur dalam tata  tertib  pemilihan  pada  masing-masing  tingkat kepengurusan FKDT dengan azas musyawarah, mufakat, adil dan demokratis.

BAB XX
PEMBUBARAN ORGANISASI

Pasal 39
1.  Usul pembubaran organisasi dapat diterima apabila diajukan secara tertulis kepada pengurus pusat oleh 2/3 (dua pertiga) jumlah pengurus Kabupaten/Kota dan pengurus provinsi yang sah dan meliputi separuh lebih dari jumlah yang sah.
2.  Untuk membicarakan usul pembubaran selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah usul diterima, maka pengurus pusat menyelenggarakan munas luar biasa.
3.  Munas luar biasa dianggap sah apabila dihadiri olehsekurang-kurangnya ¾ (tiga perempat)
dari jumlah pengurus provinsi dan pengurus Kabupaten/Kota yang sah.

BAB XXI
P E N U T U P

Pasal 40
1.  Hal-hal yang belum diatur dalam ART ini akan diaturoleh pengurus pusat.
2.  ART ini hanya dapat dirubah oleh Munas.
3.  Anggaran Rumah Tangga ini ditetapkan oleh Munas danberlaku sejak tanggal ditetapkan.

MUNAS I
FORUM KOMUNIKASI DINIYAH TAKMILIYAH
FKDT

Di tetapkan di  : Jakarta
Pada tanggal  : 14 April 2012

Pimpinan Sidang Pleno

Ketua
      
(Sumitro, S. Pd. I)

Sekretaris

(Nuruddin, S. Ag)

UNDANG - UNDANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

Tidak ada komentar:

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR  20   TAHUN 2003

TENTANG

SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
  

Menimbang     :    a. bahwa pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik   Indonesia tahun 1945 mengamanatkan Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial;
b.    bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang;
c.    bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan;
d.    bahwa Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional tidak memadai lagi dan perlu diganti serta perlu disempurnakan agar sesuai dengan amanat perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 
e.    bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, c, dan d perlu membentuk Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional.


Mengingat    :     Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 C ayat (1), Pasal 31, dan Pasal 32 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  






Dengan Persetujuan Bersama

 DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
DAN
 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN  :


Menetapkan     :     Undang-Undang Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1.    Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.  
2.    Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
3.    Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
4.    Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.
5.    Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan.
6.    Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.
7.    Jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan.
8.    Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan.
9.    Jenis pendidikan adalah kelompok yang didasarkan pada kekhususan tujuan pendidikan suatu satuan pendidikan.
10.    Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan.
11.    Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
12.    Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.
13.    Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.
14.    Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
15.    Pendidikan jarak jauh adalah pendidikan yang peserta didiknya terpisah dari pendidik dan pembelajarannya menggunakan berbagai sumber belajar melalui teknologi komunikasi, informasi, dan media lain.
16.    Pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat.
17.    Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.
18.    Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh Warga Negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
19.    Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
20.    Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.
21.    Evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan.
22.    Akreditasi adalah kegiatan penilaian kelayakan program dalam satuan pendidikan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan.
23.    Sumber daya pendidikan adalah segala sesuatu yang dipergunakan dalam penyelenggaraan pendidikan yang meliputi tenaga kependidikan, masyarakat, dana, sarana, dan prasarana.
24.    Dewan pendidikan adalah lembaga mandiri yang beranggotakan berbagai unsur masyarakat yang peduli pendidikan.
25.    Komite sekolah/madrasah adalah lembaga mandiri yang beranggotakan orang tua/wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan.
26.    Warga negara adalah Warga Negara Indonesia baik yang tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia maupun di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
27.    Masyarakat adalah kelompok Warga Negara Indonesia nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan.
28.    Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.
29.    Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten, atau Pemerintah Kota.
30.    Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab dalam bidang pendidikan nasional.
  

BAB II
DASAR, FUNGSI, DAN TUJUAN

Pasal 2
Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 3
 Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

BAB III
PRINSIP PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN

Pasal 4
(1)    Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
(2)    Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna.
(3)    Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
(4)    Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.
(5)    Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat.


(6)    Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.

BAB IV
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA,
ORANG TUA, MASYARAKAT, DAN PEMERINTAH

Bagian Kesatu
Hak dan Kewajiban Warga Negara

Pasal 5
 (1)    Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.
 (2)    Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
 (3)    Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.
 (4)    Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.
 (5)    Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat.

Pasal 6
 (1)    Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.
 (2)    Setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan.

Bagian Kedua
Hak dan Kewajiban Orang Tua

Pasal 7
 (1)    Orang tua berhak berperan serta dalam memilih satuan pendidikan dan memperoleh informasi tentang perkembangan pendidikan anaknya.
 (2)    Orang tua dari anak usia wajib belajar, berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya.
  
Bagian Ketiga
Hak dan Kewajiban Masyarakat

Pasal 8
Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan.

Pasal 9
Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan.

Bagian Keempat
Hak dan Kewajiban Pemerintah
dan Pemerintah Daerah

Pasal 10
Pemerintah dan Pemerintah Daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 11
 (1)    Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.
 (2)    Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun.

BAB V
PESERTA DIDIK

Pasal 12
 (1)    Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak :
a.    mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama;
b.    mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya;
c.    mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya;
d.    mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya;
e.    pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang setara;
f.    menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan.
 (2)    Setiap peserta didik berkewajiban :
a.    menjaga norma-norma pendidikan untuk menjamin keberlangsungan proses dan keberhasilan pendidikan; 
b.    ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
 (3)    Warga negara asing dapat menjadi peserta didik pada satuan pendidikan yang diselenggarakan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
 (4)    Ketentuan mengenai hak dan kewajiban peserta didik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VI
JALUR, JENJANG, DAN JENIS PENDIDIKAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 13
 (1)    Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya.
 (2)    Pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan dengan sistem terbuka melalui tatap muka dan/atau melalui jarak jauh.
 
Pasal 14
Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.

Pasal 15
Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus.

Pasal 16
Jalur, jenjang, dan jenis pendidikan dapat diwujudkan dalam bentuk satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat.

Bagian Kedua
Pendidikan Dasar

Pasal 17
 (1)    Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah.
 (2)    Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.
 (3)    Ketentuan mengenai pendidikan dasar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga
Pendidikan Menengah

Pasal 18
(1)    Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar.
(2)    Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan.
(3)    Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.
(4)    Ketentuan mengenai pendidikan menengah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keempat
Pendidikan Tinggi

Pasal 19
(1)    Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi.
(2)    Pendidikan tinggi diselenggarakan dengan sistem terbuka.

Pasal 20
(1)    Perguruan tinggi dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, atau universitas.
(2)    Perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
(3)    Perguruan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, profesi, dan/atau vokasi.
(4)    Ketentuan mengenai perguruan tinggi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 21
 (1)    Perguruan tinggi yang memenuhi persyaratan pendirian dan dinyatakan berhak menyelenggarakan program pendidikan tertentu dapat memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi sesuai dengan program pendidikan yang diselenggarakannya.
 (2)    Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang bukan perguruan tinggi dilarang memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi.
 (3)    Gelar akademik, profesi, atau vokasi hanya digunakan oleh lulusan dari perguruan tinggi yang dinyatakan berhak memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi.
 (4)    Penggunaan gelar akademik, profesi, atau vokasi lulusan perguruan tinggi hanya dibenarkan dalam bentuk dan singkatan yang diterima dari perguruan tinggi yang bersangkutan.
 (5)    Penyelenggara pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan pendirian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau penyelenggara pendidikan bukan perguruan tinggi yang melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa penutupan penyelenggaraan pendidikan.
 (6)     Gelar akademik, profesi, atau vokasi yang dikeluarkan oleh penyelenggara pendidikan yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau penyelenggara pendidikan yang bukan perguruan tinggi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dinyatakan tidak sah.
 (7)    Ketentuan mengenai gelar akademik, profesi, atau vokasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3),  ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
  
Pasal 22
Universitas, institut, dan sekolah tinggi yang memiliki program doktor berhak memberikan gelar doktor kehormatan (doktor honoris causa) kepada setiap individu yang layak memperoleh penghargaan berkenaan dengan jasa-jasa yang luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, kemasyarakatan, keagamaan, kebudayaan, atau seni.

Pasal 23
 (1)    Pada universitas, institut, dan sekolah tinggi dapat diangkat guru besar atau profesor sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
 (2)    Sebutan guru besar atau profesor hanya dipergunakan selama yang bersangkutan masih aktif bekerja sebagai pendidik di perguruan tinggi.

Pasal 24
 (1)    Dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan, pada perguruan tinggi berlaku kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan.
 (2)    Perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat.
 (3)    Perguruan tinggi dapat memperoleh sumber dana dari masyarakat yang pengelolaannya dilakukan berdasarkan prinsip akuntabilitas publik.
 (4)    Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 25
 (1)    Perguruan tinggi menetapkan persyaratan kelulusan untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atau vokasi.
 (2)    Lulusan perguruan tinggi yang karya ilmiahnya digunakan untuk memperoleh gelar akademik, profesi, atau vokasi terbukti merupakan jiplakan dicabut gelarnya.
 (3)    Ketentuan mengenai persyaratan kelulusan dan pencabutan gelar akademik, profesi, atau vokasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kelima
Pendidikan Nonformal

Pasal 26
 (1)    Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.
 (2)    Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional.
 (3)    Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan  hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.
 (4)    Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis.
 (5)    Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat   yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
 (6)    Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.
 (7)    Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3),   ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keenam
Pendidikan Informal

Pasal 27
 (1)    Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.
 (2)    Hasil pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.
 (3)    Ketentuan mengenai pengakuan hasil pendidikan informal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketujuh
Pendidikan Anak Usia Dini

Pasal 28
 (1)    Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar.
(2)    Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal.
 (3)    Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk Taman Kanak-kanak (TK), Raudatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat.
 (4)    Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan nonformal berbentuk Kelompok Bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat.
 (5)    Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.
 (6)    Ketentuan mengenai pendidikan anak usia dini sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedelapan
Pendidikan Kedinasan

Pasal 29
 (1)    Pendidikan kedinasan merupakan pendidikan profesi yang diselenggara-kan oleh departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen.
 (2)    Pendidikan kedinasan berfungsi meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam pelaksanaan tugas kedinasan bagi pegawai dan calon pegawai negeri suatu departemen atau lembaga pemerintah non-departemen.       
 (3)    Pendidikan kedinasan diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal dan nonformal.
 (4)    Ketentuan mengenai pendidikan kedinasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kesembilan
Pendidikan Keagamaan

Pasal 30
 (1)    Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
 (2)    Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.
 (3)    Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.
 (4)    Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis.
 (5)    Ketentuan mengenai pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kesepuluh
Pendidikan Jarak Jauh

Pasal 31
(1)    Pendidikan jarak jauh dapat diselenggarakan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.
(2)    Pendidikan jarak jauh berfungsi memberikan layanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka atau reguler.
(3)    Pendidikan jarak jauh diselenggarakan dalam berbagai bentuk, modus, dan cakupan yang didukung oleh sarana dan layanan belajar serta sistem penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai dengan standar nasional pendidikan.
 (4)    Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan jarak jauh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kesebelas
Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus

Pasal 32
 (1)    Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
 (2)    Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.
 (3)    Ketentuan mengenai pelaksanaan pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus sebagaimana dimaksud dalam  ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VII
BAHASA PENGANTAR

Pasal 33
(1)    Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara menjadi bahasa pengantar dalam pendidikan nasional.
(2)    Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap awal pendidikan apabila diperlukan dalam penyampaian pengetahuan dan/atau keterampilan tertentu.
 (3)    Bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar pada satuan pendidikan tertentu untuk mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik.

BAB VIII
WAJIB BELAJAR

Pasal 34
 (1)    Setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun dapat mengikuti program wajib belajar. 
(2)    Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.
 (3)    Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.
 (4)    Ketentuan mengenai wajib belajar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB IX
STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN

Pasal 35
 (1)    Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala.
 (2)    Standar nasional pendidikan digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan. 
 (3)    Pengembangan standar nasional pendidikan serta pemantauan dan pelaporan pencapaiannya secara nasional dilaksanakan oleh suatu badan standardisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan.
 (4)    Ketentuan mengenai standar nasional pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB X
KURIKULUM

Pasal 36
 (1)    Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
 (2)    Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik.
 (3)    Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan :
a.    peningkatan iman dan takwa;
b.    peningkatan akhlak mulia;
c.    peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;
d.    keragaman potensi daerah dan lingkungan;
e.    tuntutan pembangunan daerah dan nasional;
f.    tuntutan dunia kerja;
g.    perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; 
h.    agama;
i.    dinamika perkembangan global; dan
j.    persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.
 (4)    Ketentuan mengenai pengembangan kurikulum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 37
(1)    Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat :
a.   pendidikan agama;
b.   pendidikan kewarganegaraan;
c.   bahasa;
d.   matematika;
e.   ilmu pengetahuan alam;
f.    ilmu pengetahuan sosial;
g.   seni dan budaya;
h.   pendidikan jasmani dan  olahraga; 
i.    keterampilan/kejuruan; dan
j.    muatan lokal.
 (2)    Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat :
a.  pendidikan agama;
b.  pendidikan kewarganegaraan; dan
c.  bahasa.
(3)    Ketentuan mengenai kurikulum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 38
 (1)    Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan dasar dan menengah ditetapkan oleh Pemerintah.
 (2)    Kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan Propinsi untuk pendidikan menengah.
 (3)    Kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap program studi.
 (4)     Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap program studi.

BAB XI
PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN

Pasal 39
 (1)    Tenaga kependidikan bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan.
 (2)    Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.

Pasal 40
(1)    Pendidik dan tenaga kependidikan berhak memperoleh :
a.    penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai;
b.    penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja;
c.    pembinaan karier sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas;
d.    perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak  atas hasil kekayaan intelektual; dan
e.    kesempatan untuk menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas.
 (2)    Pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban :
a.    menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis;
b.    mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan; dan
c.    memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya.

Pasal 41
(1)    Pendidik dan tenaga kependidikan dapat bekerja secara lintas daerah.
(2)    Pengangkatan, penempatan, dan penyebaran pendidik dan tenaga kependidikan diatur oleh lembaga yang mengangkatnya berdasarkan kebutuhan satuan pendidikan formal.
(3)    Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan dengan pendidik dan tenaga kependidikan yang diperlukan untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu.
(4)    Ketentuan mengenai pendidik dan tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 42
(1)    Pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
(2)    Pendidik untuk pendidikan formal pada jenjang pendidikan usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi dihasilkan oleh perguruan tinggi yang terakreditasi.
(3)    Ketentuan mengenai kualifikasi pendidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 43
(1)    Promosi dan penghargaan bagi pendidik dan tenaga kependidikan dilakukan berdasarkan latar belakang pendidikan, pengalaman, kemampuan, dan prestasi kerja dalam bidang pendidikan.   
(2)    Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi.
(3)    Ketentuan mengenai promosi, penghargaan, dan sertifikasi pendidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 44
(1)    Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membina dan mengembangkan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
(2)    Penyelenggara pendidikan oleh masyarakat berkewajiban membina dan mengembangkan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakannya.
(3)    Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membantu pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan formal yang diselenggarakan oleh masyarakat.

BAB XII
SARANA DAN PRASARANA PENDIDIKAN

Pasal 45
(1)    Setiap satuan pendidikan formal dan nonformal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik.
(2)    Ketentuan mengenai penyediaan sarana dan prasarana pendidikan pada semua satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XIII
PENDANAAN PENDIDIKAN

Bagian Kesatu
Tanggung Jawab Pendanaan

Pasal 46
(1)    Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.
 (2)    Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
 (3)    Ketentuan mengenai tanggung jawab pendanaan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.


Bagian Kedua
Sumber Pendanaan Pendidikan

Pasal 47
(1)    Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan.
(2)    Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat mengerahkan sumber daya yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3)    Ketentuan mengenai sumber pendanaan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.






Bagian Ketiga
Pengelolaan Dana Pendidikan

Pasal 48
(1)    Pengelolaan dana pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik.
(2)    Ketentuan mengenai pengelolaan dana pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keempat
Pengalokasian Dana Pendidikan

Pasal 49
(1)    Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
(2)    Gaji guru dan dosen yang diangkat oleh Pemerintah dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
(3)    Dana pendidikan dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk satuan pendidikan diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4)    Dana pendidikan dari Pemerintah kepada Pemerintah Daerah diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5)    Ketentuan mengenai pengalokasian dana pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XIV
PENGELOLAAN PENDIDIKAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 50
(1)    Pengelolaan sistem pendidikan nasional merupakan tanggung jawab Menteri.
(2)    Pemerintah menentukan kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan nasional.
(3)    Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.
(4)     Pemerintah Daerah Propinsi melakukan koordinasi atas penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan, dan penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas daerah Kabupaten/Kota untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah.
(5)    Pemerintah Kabupaten/Kota mengelola pendidikan dasar dan pendidikan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal.
(6)    Perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan di lembaganya.
(7)    Ketentuan mengenai  pengelolaan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 51
(1)    Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah.
(2)    Pengelolaan satuan pendidikan tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi, akuntabilitas, jaminan mutu, dan evaluasi yang transparan.
(3)    Ketentuan mengenai pengelolaan satuan pendidikan  sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
 
Pasal 52
(1)    Pengelolaan satuan pendidikan nonformal dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat.
(2)    Ketentuan mengenai pengelolaan satuan pendidikan nonformal sebagai-mana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua
Badan Hukum Pendidikan


Pasal 53
(1)    Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
(2)    Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik.
(3)    Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan.
(4)    Ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur dengan Undang-undang tersendiri.

BAB XV
PERAN SERTA MASYARAKAT
DALAM PENDIDIKAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 54
(1)    Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan.
(2)    Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.  
(3)    Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua
Pendidikan Berbasis Masyarakat

Pasal 55
(1)    Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat.
(2)    Penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standar nasional pendidikan.
(3)    Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, Pemerintah Daerah dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4)    Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.
(5)    Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga
Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah/Madrasah

Pasal 56
 (1)    Masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan melalui dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah.
 (2)    Dewan pendidikan sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat Nasional, Propinsi, dan Kabupaten/ Kota yang tidak mempunyai hubungan hirarkis.
 (3)    Komite sekolah/madrasah, sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan.
 (4)    Ketentuan mengenai pembentukan dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah sebagaimana dimaksud dalam    ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.









BAB XVI
EVALUASI, AKREDITASI, DAN SERTIFIKASI

Bagian Kesatu
Evaluasi

Pasal 57
 (1)    Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
 (2)    Evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, lembaga, dan program pendidikan pada jalur formal dan nonformal untuk semua jenjang, satuan, dan jenis pendidikan.


Pasal 58
(1)    Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.
 (2)    Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan.

Pasal 59
(1)    Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.
 (2)    Masyarakat dan/atau organisasi profesi dapat membentuk lembaga yang mandiri untuk melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58.
 (3)    Ketentuan mengenai evaluasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua
Akreditasi

Pasal 60
(1)    Akreditasi dilakukan untuk menentukan kelayakan program dan satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal dan nonformal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan.
(2)    Akreditasi terhadap program dan satuan pendidikan dilakukan oleh Pemerintah dan/atau lembaga mandiri yang berwenang sebagai bentuk akuntabilitas publik.
 (3)    Akreditasi dilakukan atas dasar kriteria yang bersifat terbuka.           
(4)    Ketentuan mengenai akreditasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga
Sertifikasi

Pasal 61
(1)     Sertifikat berbentuk ijazah dan sertifikat kompetensi.
(2)    Ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi.
 (3)    Sertifikat kompetensi diberikan oleh penyelenggara pendidikan dan lembaga pelatihan kepada peserta didik dan warga masyarakat sebagai pengakuan terhadap kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi.
 (4)    Ketentuan mengenai sertifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XVII
PENDIRIAN SATUAN PENDIDIKAN

Pasal 62
(1)    Setiap satuan pendidikan formal dan nonformal yang didirikan wajib memperoleh izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
 (2)    Syarat-syarat untuk memperoleh izin meliputi isi pendidikan, jumlah dan kualifikasi pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan pendidikan, sistem evaluasi dan sertifikasi, serta manajemen dan proses pendidikan.
 (3)    Pemerintah atau Pemerintah Daerah memberi atau mencabut izin pendirian satuan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
 (4)    Ketentuan mengenai pendirian satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 63
Satuan pendidikan yang didirikan dan diselenggarakan oleh Perwakilan Republik Indonesia di negara lain menggunakan ketentuan Undang-undang ini.
 
BAB XVIII
PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN
OLEH LEMBAGA NEGARA LAIN

Pasal 64
Satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh perwakilan negara asing di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, bagi peserta didik warga negara asing, dapat menggunakan ketentuan yang berlaku di negara yang bersangkutan atas persetujuan Pemerintah Republik Indonesia.

Pasal 65
(1)    Lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau yang diakui di negaranya dapat menyelenggarakan pendidikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
 (2)    Lembaga pendidikan asing pada tingkat pendidikan dasar dan menengah wajib memberikan pendidikan agama dan kewarganegaraan bagi peserta didik Warga Negara Indonesia.
 (3)    Penyelenggaraan pendidikan asing wajib bekerja sama dengan lembaga pendidikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan mengikutsertakan tenaga pendidik dan pengelola Warga Negara Indonesia.
 (4)    Kegiatan pendidikan yang menggunakan sistem pendidikan negara lain yang diselenggarakan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
 (5)    Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XIX
PENGAWASAN

Pasal 66
 (1)    Pemerintah, Pemerintah Daerah, dewan pendidikan, dan komite sekolah/ madrasah melakukan pengawasan atas penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang dan jenis pendidikan sesuai dengan kewenangan masing-masing.
 (2)    Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas publik.
 (3)    Ketentuan mengenai pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
 
BAB XX
KETENTUAN PIDANA

Pasal 67
 (1)    Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/ atau vokasi tanpa hak dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
 (2)    Penyelenggara perguruan tinggi yang dinyatakan ditutup berdasarkan Pasal 21 ayat (5) dan masih beroperasi dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
 (3)    Penyelenggara pendidikan yang memberikan sebutan guru besar atau profesor dengan melanggar Pasal 23 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
 (4)    Penyelenggara pendidikan jarak jauh yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).  

Pasal 68
(1)    Setiap orang yang membantu memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
 (2)    Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang diperoleh dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
 (3)    Setiap orang yang menggunakan gelar lulusan yang tidak sesuai dengan bentuk dan singkatan yang diterima dari perguruan tinggi yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
 (4)    Setiap orang yang memperoleh dan/atau menggunakan sebutan guru besar yang tidak sesuai dengan Pasal 23 ayat (1) dan/atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 69
(1)    Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
 (2)    Setiap orang yang dengan sengaja tanpa hak menggunakan ijazah dan/atau sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2) dan ayat (3) yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 70
Lulusan yang karya ilmiah yang digunakannya untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atau vokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2)  terbukti merupakan jiplakan dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pasal 71
Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan tanpa izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

BAB XXI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 72
Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang pada saat Undang-undang ini diundangkan belum berbentuk badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 tetap berlaku sampai dengan terbentuknya Undang-undang yang mengatur badan hukum pendidikan.

Pasal 73
Pemerintah atau Pemerintah Daerah wajib memberikan izin paling lambat dua tahun kepada satuan pendidikan formal yang telah berjalan pada saat Undang-undang ini diundangkan belum memiliki izin.
 
Pasal 74
Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem   Pendidikan   Nasional  (Lembaran  Negara  Tahun  1989 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3390) yang ada pada saat diundangkannya Undang-undang ini masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan Undang-undang ini.

BAB XXII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 75
Semua peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk melaksanakan Undang-undang ini harus diselesaikan paling lambat dua tahun terhitung sejak berlakunya Undang-undang ini.

Pasal 76
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, Undang-undang Nomor 48/Prp./1960 tentang Pengawasan Pendidikan dan Pengajaran Asing (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 155, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2103) dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3390) dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 77
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
 
Disahkan di Jakarta
pada tanggal  8 Juli 2003

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

                     ttd.

 MEGAWATI SOEKARNOPUTRI


Diundangkan di Jakarta
pada Tanggal 8 Juli 2003

SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

                 ttd.

     BAMBANG KESOWO
 
back to top